The Breakers of Limitotions from Gurung Mali
Suatu malam, di desa Gurung Mali di kabupaten Sintang, Kalimantan Barat, malam terasa lebih dingin dan gelap. Tidak ada cahaya sama sekali. Keindahan memesona desa Gurung Mali di siang hari terasa singkat dan malamnya sangat panjang. Orang-orang tidak bisa melakukan apa pun selain tidur, termasuk seorang pria bernama Nayau. Nayau sering merenungkan apa yang bisa dia lakukan agar keindahan desanya bisa dinikmati lebih lama. Ini akan membuat orang-orang dapat melakukan lebih banyak kegiatan di malam hari tanpa batasan.
Keberadaan listrik di desa mereka mustahil untuk ditunggu karena lokasi desa sangat jauh dari fasilitas instalasi listrik pemerintah. Meskipun demikian, hal itu tidak membuat Nayau putus asa. Saat orang lain hanya bisa menerima keadaan, Nayau mulai mengumpulkan teman-temannya untuk melakukan sesuatu demi cahaya bagi desa mereka dan untuk memutus keterbatasan yang mereka miliki.
Terdengar samar percakapan di antara sekelompok pria dan wanita. Mereka berkumpul di depan api unggun sambil memanggang jagung dan minum teh hangat.
"Idemu itu mustahil Nayau," kata Paoi, "Bagaimana kita bisa membangun pembangkit listrik mikrohidro? Berapa banyak uang yang dibutuhkan untuk membangunnya?"
"Ya Nayau, apa kamu punya uang sebanyak itu?" tanya Nico.
"Benar, apalagi jarak desa kita ke Sungai Filing juga sangat jauh, Nayau," tegur Paoi.
Nayau tersenyum dan berkata, "Ya, aku tidak punya banyak uang, teman-teman. Tapi jika kita bekerja sama, tidak ada yang tidak mungkin. Ini demi kebaikan kita. Desa kita bisa terang dan indah di malam hari dan kita juga bisa melakukan kegiatan yang lebih produktif di malam hari tanpa batasan seperti sekarang."
"Jika kita tidak punya uang, bagaimana kita bisa membuat selokan untuk mengalirkan air dari Sungai Filing Nayau?" tanya Kosa, seorang wanita yang asyik mengatur posisi kayu di dalam lubang.
"Kita bisa coba menggunakan kayu karena lebih murah," kata Nayau.
"Bagaimana kalau menggunakan bahan bakar diesel untuk menggerakkan roda?" tanya Sinko.
"Kalau kita pakai diesel, kita harus menyediakan dana setiap hari untuk membeli diesel dan itu juga bisa mencemari udara di lingkungan kita. Kalau kita pakai tenaga air, itu lebih efisien dan lebih ramah lingkungan," jelas Nayau.
"Tapi pakai kayu juga masih mahal, Nayau, karena jaraknya sangat jauh. Kita harus beli banyak kayu untuk membangun saluran," kata Apoi.
"Membangun kincir angin juga butuh banyak uang, Nayau," kata Noh.
"Kita bisa pinjam materialnya dulu, lalu kita bisa bayar dengan cara mencicil," kata Nayau.
"Sekarang tidak ada pemilik material yang mau memberikan barangnya tanpa jaminan," kata Dasen.
"Aku siap menjadi penjamin demi listrik di desa kita," kata Nayau.
"Wah, itu sangat tidak masuk akal. Aku tidak setuju. Aku takut proyek ini akan gagal. Tidak ada listrik dan uang akan hilang. Dalam skenario terburuk, kita masih harus membayar materialnya," kata Miso, yang sudah lama terdiam.
Kemudian beberapa orang meninggalkan kelompok itu. Hanya beberapa orang yang tersisa, mereka masih duduk dengan tenang.
"Kalau kita tidak mencoba untuk mengubah kondisi kita, siapa lagi yang akan mengubahnya untuk kita?" kata Nayau pelan. "Kita tidak bisa hanya diam saja, menunggu listrik datang dari pemerintah dan kita tidak tahu kapan itu akan datang," tambah Nayau.
"Betul itu," kata Apoi yang masih duduk paling dekat dengan perapian.
"Tapi aku tidak bisa mewujudkannya sendirian. Bersama-sama lebih kuat daripada sendirian, kan?" kata Nayau.
"Ya, mari kita lakukan bersama-sama, aku siap membantu," kata Supardi.
"Kami juga bisa bantu, pasukan perempuan siap," kata Nino, wanita termuda di antara yang lain, "Ayo, kita bisa melakukannya bersama," kata Hisako, mengepalkan tinjunya.
Keesokan harinya, mereka datang ke toko material untuk membicarakan masalah itu. Setelah beberapa tawar-menawar dan sebagainya, mereka membuat kesepakatan. Mereka mencapai kesepakatan. Nayau dan beberapa teman yang mendukungnya seperti Apoi, Sinko, Hisako, Noh, Dasen, Supardi, Mio, Nino dan beberapa wanita lain mulai bekerja sama untuk membangun bendungan dan rumah kincir beserta saluran air berupa parit yang mencapai panjang 200 meter dan kedalaman 40 cm. Mereka bekerja secara gotong royong, menumpuk karung pasir untuk bendungan, menutupi rumah kincir dengan terpal dan menutupi generator dengan seng. Semuanya dilakukan secara manual. Setiap hari, keringat yang bercucuran tidak terasa sebagai penghalang bagi semangat mereka untuk mengubah kondisi desa mereka. Mereka bersemangat untuk membuat desa mereka terang benderang dan menghilangkan batasan kegiatan mereka di malam hari.
Setelah tiga bulan, pembangkit listrik mikrohidro akhirnya selesai. Akhirnya, rumah-rumah tempat mereka tinggal bersukacita di malam hari. Mereka yang sebelumnya meragukan nilai kerja keras, gotong royong dan kepedulian terhadap lingkungan... (cerita terputus)
lingkungan pun turut bersorak. Para penduduk desa kemudian lebih bersemangat untuk melindungi hutan dan lingkungan sekitar agar pasokan air tetap tersedia. Nayau tersenyum lebar dan bangga pada teman-temannya. "Keindahan desa Gurung Mali akan bertahan selamanya dan orang-orang akan lebih makmur karena sekarang mereka lebih produktif," bisik Nayau. "Kebersamaan bisa menembus batasan."






Komentar
Posting Komentar